Debat cawapres pemilu 2024 menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat. Salah satu momen yang mencuri perhatian adalah saat Gibran Rakabuming, anak dari Presiden Joko Widodo, mencoba mempermalukan lawan debatnya. Gibran berusaha menjatuhkan dengan istilah-istilah yang kurang dimengerti oleh orang kebanyakan. Pada debat cawapres pertama, Gibran berhasil menjatuhkan Muhaimin Iskandar dengan istilah SGIE, dan menjatuhkan Mahfud MD dengan istilah Carbon Storage.
Pada debat cawapres kedua, Gibran masih berusaha menggunakan pertanyaan-pernyataan yang sengaja agar Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD tidak mengerti. Tetapi debat cawapres kedua, KPU sudah mewanti-wanti, dilarang menggunakan pertanyaan yang tidak dimengerti oleh lawan debat. Alih-alih pertanyaannya yang ditolak, Gibran melakukan hal-hal yang menghina, gerak-gerakan yang sengaja dibuat, dan omongan-omongan yang menjatuhkan. Misalnya, ucapan Gibran ke Mahfud, dengan ucapan: ”Kan Profesor, harusnya tahu!”
Sebagai anak dari Presiden Jokowi, Gibran seharusnya mampu menunjukkan sikap yang lebih bijaksana dan membumi. Namun, dalam debat cawapres tersebut, ia justru terkesan ingin menunjukkan keunggulan dirinya dengan cara yang kurang sopan dan tidak terhormat. Hal ini menimbulkan pandangan negatif terhadap Gibran sebagai sosok yang arogan dan terlalu percaya diri.
Kasus Anwar Usman, pamannya Gibran, juga menjadi bagian yang menambah polemik dalam debat cawapres tersebut. Anwar Usman sebelumnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim Konstitusi setelah terbukti melanggar etika. Hal ini menimbulkan tudingan bahwa keberhasilan Gibran lolos menjadi calon wakil presiden adalah berkat hubungan keluarganya, bukan atas dasar kapasitas dan kualifikasi yang sesungguhnya.
Kontroversi pun semakin berkembang dan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap praktek politik dinasti yang sering kali diwarnai oleh nepotisme dan pengaruh-pengaruh politik tertentu. Kepentingan keluarga dalam dunia politik semakin menonjol, dan hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar terkait prinsip meritokrasi dan keadilan dalam perebutan jabatan politik.
Dalam menyikapi kontroversi ini, masyarakat diharapkan mampu melihat lebih jauh dari sekadar hubungan keluarga atau keterlibatan Gibran dalam politik. Kualitas kepemimpinan dan kualifikasi sebagai calon wakil presiden harus menjadi fokus utama dalam menentukan pilihan politik. Kepentingan politik seharusnya tidak boleh melebihi kepentingan rakyat dan negara.
Debat cawapres pemilu 2024 memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam dunia politik, tidak hanya diperlukan keberanian untuk bersaing, tetapi juga dibutuhkan integritas, etika, dan sikap yang bijaksana dalam menghadapi lawan politik. Saling menghormati dan tidak mencari-cari kelemahan pribadi merupakan sikap yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sebuah kontestasi politik.
Situasi tersebut pun menjadi pembelajaran bagi para politisi muda, terutama yang memiliki kedekatan dengan politisi senior atau memiliki hubungan keluarga di dunia politik. Mereka diharapkan mampu menunjukkan kualitas kepemimpinan yang unggul tanpa harus mengandalkan hubungan keluarga atau nepotisme
Sebagai masyarakat, kita pun memiliki peran penting dalam memilih pemimpin yang tidak hanya pandai dalam berbicara, tetapi juga memiliki integritas, keberanian untuk berkomitmen pada keadilan, dan keuletan dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Kepentingan politik seharusnya tidak boleh melebihi kepentingan rakyat dan negara, dan hal ini harus dipegang teguh oleh setiap calon pemimpin.
Pemilu 2024 menjadi momentum yang penting bagi kita semua untuk memilih pemimpin yang dapat membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Seluruh kontroversi yang muncul selama debat cawapres seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi kita untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu memimpin dengan baik dan mengedepankan kepentingan rakyat diatas segalanya.